Rabu, 25 April 2012

Aturan Berpakaian Seorang Akhwat Dalam Islam



    Pakaian Bagi Seorang Muslimah (Perempuan)
 

        Adapun pakaian yang dikenakan oleh seorang muslimah haruslah memenuhi syarat-syarat 
        sebagai berikut :
       1. Menutup aurat
       2. Menetapi jenis dan model yang ditetapkan syara’ (Memakai jilbab, khumur, mihnah dan 

           memenuhi kriteria irkha’)
       3. Tidak tembus pandang
       4. Tidak menunjukkan bentuk dan lekuk tubuhnya.
       5. Tidak tabarruj
       6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki
       7. Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir

     

      Rincian masing-masing persyaratan di atas berbeda-beda berdasarkan :
    - Keberadaan wanita di temat umum atau di tempat khusus.
   -  Keberadaan wanita dihadapan mahram atau bukan atau dihadapan suami atau bukan.

Penampilan wanita dibedakan antara tempat khusus dan umum. Misalnya di dalam rumah sendiri, seorang wanita boleh membuka jilbabnya dan memakai mihnahnya(Pakaian rumah), kecuali jika ada tamu laki-laki non muhrim. Adapun di tempat umum penampilan wanita dibatasi dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
    Kewajiban menutup aurat, seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan
    Kewajiban menggunakan pakaian khusus dikehidupan umum, yaitu kerudung (khimar) dan jilbab ( pakaian luar yang luas (seperti jubah) yang menutup pakaian harian yang biasa dipakai wanita di dalam rumah (mihnah), yang terulur langsung dari atas sampai ujung kaki).
    Tidak tabarruj (menonjolkan keindahan bentuk tubuh, kecantikan dan perhiasan di depan laki-laki non muhrim atau dalam kehidupan umum).
    Larangan tasyabbuh terhadap laki-laki

Khusus untuk wanita menopause diperbolehkan Allah untuk melepaskan jilbabnya, hanya saja tetap diperintahkan untuk tidak tabarruj, sehingga diperbolehkan baginya menggunakan baju panjang selapis atau tidak rangkap (bukan jilbab), model apa saja selama tidak menampakkan keindahan tubuhnya seperti baju panjang atas bawah, kulot panjang dan lain-lain. QS. an-Nur 24 : 60.

Pakaian wanita di dalam rumahnya cukup menggunakan mihnah (kecuali ada tamu yang bukan mahrom, maka wajib menutup aurat yang harus ditutup di hadapan bukan mahrom). Dihadapan mahrom maka cukup menggunakan mihnah (kecuali di tempat umum maka harus memenuhi pakaian wanita di tempat umum), di hadapan suami tidak ada keharusan menutup bagian tubuhnya (walaupun dianjurkan tidak telanjang).

    * Aurat Wanita
Pembahasan aurat wanita dibagi menjadi tiga keadaan, yaitu :

    Dihadapan suami mereka maka wanita boleh menampakkan seluruh bagian tubuhnya (berdasarkan hadits riwayat Bahz bin Hakim).
    Dihadapan Muhrimnya dan orang-orang yang disebutkan dalam QS. an-Nur 24 : 31 dan QS. an-Nisa 4: 23, maka baginya boleh menampilkan bagian tertentu dari anggota tubuhnya yang biasa disebut mahaluzzinah yaitu, anggota badan yang biasanya dijadikan tempat perhiasan, seperti : kepala seluruhnya, tempat kalung (leher), tempat gelang tangan (pergelangan tangan) sampai pangkal lengan dan tempat gelang kaki (pergelangan kaki) sampai lutut. Mahaluzzinah ini biasa tampak ketika wanita memakai baju dalam rumah (mihnah). Selain itu, anggota tubuh lain boleh tampak termasuk apabila ada hajat seperti perut, payudara, kecuali aurat yang ada di antara pusar dan lutut.

Pemahaman mahaluzzinah ini diambil dari firman Allah SWT :
“....dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali....”(QS. an-Nur 24 : 31).

Kata Zinah yang secara bahasa berarti perhiasan, tetapi bukanlah perhiasan yang biasa dipakai orang, tetapi makna zinah di sini adalah anggota badan yang merupakan tempat perhiasan (mahaluzzinah), karena illa ma zhahara minha yang dimaksud adalah yang biasa nampak pada saat itu (saat ayat ini turun) yaitu muka dan telapak tangan, jadi menyangkut anggota badan.
    Adapun dihadapan laki-laki selain suami dan muhrimnya, maka aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.

Dasar dari penentuan aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, yaitu :
“....dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. an-Nur 24 : 31).

Sedangkan yang dimaksud dengan yang biasa nampak daripadanya adalah wajah dan telapak tangan.
Karena dua bagian ini yang biasa nampak dari wanita muslimah di hadapan Rasul Muhammad SAW (baik dalam sholat, haji maupun dalam kehidupan sehari-hari di luar sholat dan haji) dan Rasul mendiamkannya, sementara ayat-ayat Al-Qur’an masih turun. Tafsir mengenai hal ini, Ibnu Abbas menyatakan yang dimaksud dengan illa ma zhahara minha adalah muka dan tangan, juga dari Imam Ibnu Jarir ath-Thabari menyatakan “Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa sesuatu yang biasa nampak adalah muka dan telapk tangan.” (Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, jld. 18, hal 94). Hal tersebut diperkuat dengan sabda Rasul SAW kepada Asma’ binti Abu Bakar :

“Wahai Asma’ ; Sesungguhnya wanita yang telah haid tidak layak baginya terlihat dari tubuhnya kecuali ini dan ini. Beliau menunjuk pada wajah dan telapak tangannya.” [HR.Abu Dawud,No.3580].

QS. an-Nur 24 : 31 turun sebelum ayat tentang jilbab, sehingga ayat ini hanya menyampaikan batasan aurat dan perintah memakai kerudung. Sedangkan kewajiban berjilbab akan dibahas menyusul.

Adapun berkaitan dengan apa aurat itu ditutup, maka sesungguhnya syara’ tidak menentukan pakaian tertentu untuk menutup aurat, tetapi hanya memberikan beberapa syarat yaitu :
    Pakaian itu tidak menampakkan aurat (dapat menutup semua aurat).
    Pakaian itu dapat menutup kulit, sehingga tidak diketahui warna kulit dari wanita yang memakainya, yaitu apakah kulitnya putih, merah, kuning, hitam dan lain-lain. Apabila tidak memenuhi syarat tersebut, tidak dapat dianggap sebagai penutup aurat. Jika pakaian itu tipis misal brokat, kerudung tipis, kaos kaki tipis, rukuh tipis dan lain-lain, sehingga kelihatan warna kulit (rambut) si pemakai pakaian itu, maka wanita yang memakai pakaian tersebut dianggap auratnya tampak atau tidak menutupi auratnya.

Dalil bahwa syariat Islam telah mewajibkan menutup kulit sehingga tidak tampak warna kulitnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah ra, beliau meriwayatkan bahwa Asma’ binti Abu Bakar datang kepada Rasulullah SAW dengan memakai baju yang tipis maka Rasulullah memalingkan wajahnya dari Asma’ dan bersada :

“Wahai Asma’ : Sesungguhnya wanita yang telah haid tidak layak baginya terlihat dari tubuhnya kecuali ini dan ini....” [HR.Abu Dawud,No.3580].

Rasulullah dalam hadits di atas menganggap baju yang tipis belum menutup aurat dan menganggap auratnya terbuka, sehingga beliau memalingkan wajah dari Asma’ dan memerintahkan Asma’ untuk menutup aurat. Dalil lain yang memperkuat dalam masalah ini adalah hadits yang diriwayatkan Usamah :

“Perintahkan Isterimu untuk mengenakan pakaian tipis lagi (gholalah) di bawah baju tipis tersebut. Sesungguhnya aku takut wanita itu tersifati tulangnya.”

Rasulullah SAW ketika mengetahui Usamah memakaikan pakaian tipis itu pada isterinya, beliau menyuruhnya agar isterinya mengenakan pakaian tipis lagi di bawah pakaian tipisnya itu. Dan Rasulullah memberi illat pada masalah itu dengan sabdanya :

“Sesungguhnya aku takut wanita itu tersifati tulangnya.”

Artinya wanita harus menutup sifat tulangnya, tidak boleh menggunakan pakaian yang tipis, sehingga kelihatan warna kulitnya.

Dengan demikian wanita harus memperhatikan 2 syarat tersebut ketika memilih jenis dan bahan pakaian penutup aurat termasuk penutup aurat di depan mahrom dan wanita lain seperti celana ¾ sampai lutut, daster dan lain-lain.

Hanya saja, apabila wanita selain yang menopause berada di luar rumah atau tempat-tempat umum (masjid, pasar, jalanan, dan lain-lain), maka selain batasan aurat dan larangan tabarruj, terdapat ketentuan lain yang perlu di perhatikan yaitu adanya kewajiban menggunakan pakaian khusus yang telah diperintahkan Allah berupa khimar (kerudung) dan jilbab (jubah langsungan dari atas sampai ujung kaki), bukan pakaian lain seperti baju panjang atas bawah, kulot panjang dan lain-lain. Meskipun jenis baju tersebut menutup aurat tetapi bukan termasuk jilbab, oleh karena itu jenis pakaian tersebut hanya bisa dipakai oleh wanita yang sudah menopause dan sudah tidak punya keinginan seksual (QS. an-Nur 24 ; 60).

Untuk lebih detailnya tentang pakaian khusus di kehidupan umum maka dapat dilihat pada pembahasan selanjutnya.

* Pakaian Wanita di Dalam Kehidupan Umum

Dalam kehidupan umum, yaitu pada saat wanita berada di luar rumahnya atau di hadapan laki-laki non mahrom, maka seorang wanita harus menggunakan secara sempurna, yakni :

    Menutup aurat
   oMenetapi jenis dan model yang ditetapkan syara’ (Memakai jilbab, khumur, mihnah dan memenuhi
    kriteria irkha’)
    Tidak tembus pandang
    Tidak menunjukkan bentuk dan lekuk tubuhnya.
    Tidak tabarruj
    Tidak menyerupai pakaian laki-laki
    Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir

Dalil-dalil mengenai masalah ini lihat lagi pembahasan di atas. Adapun dalil lainnya adalah sebgai berikut :

“Katakanlah kepada wanita yang beriman : “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan khumur (kain kerudung) ke juyub (dada)nya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara    laki-laki mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau pelaya-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. an-Nur 24 : 31).

Kewajiban menggunakan khumur muncul dari perintah dan hendaklah mereka menutupkan khumur atau kain kerudung ke juyub (dada)-nya.

* Memahami Pengertian Khimar
Khumur adalah jama’ dari khimir yaitu kerudung yang menutupi kepala, dan juyub adalah jama’ dari kata jaibun yaitu ujung pakaian (kancing pembuka) yan ada disekitar leher dan di atas dada. Dengan kata lain khimar adalah kain yang menutupi kepala tanpa menutupi wajah, terulur sampai menutupi ujung pakaian bawah (jilbab) yakni kancing baju di atas dada. Dengan demikian untuk bagian atas badan wanita diwajibkan mengenakan kerudung yang di ulurkan sampai ujung pakaian (kancing pembuka) atau di atas dada. Sedangkan bawahnya diperintahkan menggunkan jilbab atau jubah.
Dalil kewajibannya adalah sebagai berikut :
    Ungkapan : Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT :
“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin : “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. al-Ahzab 33 : 59).
    Kebolehan menanggalkan pakaian luar (jilbab) bagi wanita menopause dengan ungkapan tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka sebagaimana dalam firman Allah SWT :
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan (tabarruj), dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. an-Nur 24 : 60).

    Ungkapan : Salah seorang diantara kami tidak mempunyai jilbab, Rasulullah bersabda : “Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya.” Sebagaimana dalam hadits dari Ummu ‘Athiyah ra. Berkata :
Rasulullah memerintahkan kepada kami, nenek-nenek, wanita yang sedang haid, wanita pingitan untuk keluar pada hari raya Fitri dan Adha. Maka bagi wanita yang sedang haid janganlah sholat dan hendaklah menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Saya berkata : “Ya Rasulullah salah seorang diantara kami tidak mempunyai jilbab”, Rasulullah bersabda: “Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya.” (HR. Muslim, No. 1475).

Pada QS. al-Ahzab 33 : 59 dan hadits dari Ummu ‘Athiyah, Allah dan Rasul-Nya memerintahkan muslimah menggunakan sejenis pakaian yang disebut jilbab.

* Memahami Pengertian Jilbab
Kata jilbab digunakan di dalam al-Qur’an dan Hadits, namun maksud kata itu harus dikembalikan pada maksud yang dipahami oleh masyarakat ketika kata itu diturunkan atau diungkapkan. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata jilbab (pada nash tersebut): baju luar yang berfungsi menutupi tubuh dari atas sampai bawah (tanah). Dalam kamus arab Al-Muhith, jilbab bermakna: Pakaian yang lebar bagi wanita, yang menutupi tsiyab atau mihnah (pakaian harian yang biasa dipakai ketika berada di dalam rumah), bentuknya seperti malhafah (kain penutup dari atas kepala sampai ke bawah). Demikian pula yang disebutkan oleh al-Jauhari dalam kitab Ash Shihah. Definisi jilbab ini juga tersirat dalam QS. an-Nur 24 : 60 walaupun pada ayat tersebut Allah menggunakan istilah tsiyab untuk menyebutkan makna jilbab.

Dari QS. an-Nur 24 : 60 dapat diambil pemahaman bahwa wanita menopause yang sudah tidak mempunyai keinginan seksual diperbolehkan melepaskan tsiyabnya (pakaian luarnya atau jilbab), berarti tersisa mihnah, hanya selanjutnya diperintahkan untuk tidak menampakkan kecantikan, bentuk tubuh, perhiasan (tidak tabarruj) yaitu diperbolehkan menggunakan baju apa saja sejenis mihnah yang tidak menampakkan kecantikan atau bentuk tubuh seperti baju atas bawah panjang, daster, kulot panjang dan lain-lain, tidak seperti celana ketat panjang karena hal itu termasuk tabarruj. Tsiyab disini dipahami pakaian luar atau jilbab bukan baju biasa karena tidak mungkin Allah memerintahkan wanita menopause telanjang. Berarti dapat dipahami pula bagi wanita yang belum menopause diwajibkan untuk menggunakan tiga lapis jenis pakaian ketika di hadapan laki-laki non mahrom yaitu kerudung, mihnah dan jilbab.

Adapun hadits dari Ummu ‘Athiyah menerangkan dengan jelas ketika wanita keluar rumah atau dihadapan laki-laki non mahrom diwajibkan menggunakan pakaian yang dipakai di atas pakaian dalam rumah (mihnah), sebagaimana Ummu ‘Athiyah berkata kepada Rasulullah SAW : “ Salah seorang dari kami tidak mempunyai jilbab.” Artinya jika seseorang tidak mempunyai jilbab dan saudaranya tidak meminjami maka wanita itu tidak boleh keluar. Inilah indikasi (qarinah) bahwa perintah hadits tersebut adalah wajib. Dan jilbab yang dimaksudkan pada hadits ini bukan sekedar penutup aurat tetapi sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa jilbab: baju luar yang berfungsi menutupi tubuh langsung dari atas sampai bawah.

Pengertian ini dapat ditemukan juga dalam Tafsir Jalalain (lihat Tafsir Jalalain, jld. III, hal. 1803) yang diartikan sebagai kain yang dipakai seorang wanita untuk menutupi seluruh tubuhnya.

Jilbab selain harus luas dipersyaratkan harus diulurkan langsung ke bawah sampai menutupi dua telapak kaki. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan juga dapat dipahami dari nash-nash yudnina ‘alaihinna min jalabibihinna d sini bukan menunjuk sebagian tetapi untuk menjelaskan makna yudnina adalah yurkhina ila asfal (mengulurkan sampai ke bawah atau kedua kaki).

Jadi kesimpulannya jilbab harus diulurkan langsung ke bawah (tidak terpotong-potong ataubatas bawah) sampai menutup dua telapak kaki (bukan mata kaki). Hal ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Inu Umar. Inu Umar berkata : Rasulullah bersabda :

Barangsiapa yang menyeret pakaiannya dengan sombong maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” Ummu Salamah bertanya : “Bagaiamana yang harus diperbuat para wanita terhadap ujung baju (jilbab) mereka?” Rasulullah menjawab : “Hendaklah mereka mengulurkan sejengkal.” Ummu Salamh bertanya lagi: “Kalau demikian terlihat kaki mereka.” Rasulullah menjawab: “Hendaklah mengulurkan bajunya sehasta dan jangan lebih dari itu.”

Dari sini jelas bahwa jilbab tidak boleh diulurkan bagian per bagian misalnya baju potongan, tetapi diulurkannya langsung dari atas ke bawah. Selain itu mengulurkannya harus sampai telapak kaki (bukan mata kaki), tidak boleh kurang dari itu, oleh karena itu apabila jilbabnya terulur sampai mata kaki dan sisanya (telapak kaki) ditutup dengan kaos kaki atau sepatu, maka hal itu tidak cukup menggantikan keharusan irkha’ (terulurnya baju sampai ke bawah). Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah adanya irkha’, yaitu jilbab harus diulurkan sampai menutupi kedua telapak kaki sehingga dapat diketahui dengan jelas bahwa baju itu adalah baju di kehidupan umum.

* Memahami Pengertian Tabarruj
Tabarruj telah diharamkan oleh Allah SWT dengan larangan yang menyeluruh dalam segala kondisi dengan dalil yang jelas. Hal ini ditunjukkan dalam firman Allah SWT :
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan (tabarruj), dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(QS. an-Nur 24 : 60).

Pemahaman dari ayat ini adalah larangan bertabarruj secara mutlak. Allah membolehkan mereka (wanita yang berhenti haid dan tidak ingin menikah) menanggalkan pakaian luar mereka (jilbab), tanpa bertabarruj.

Sedangkan pengertian tabarruj adalah menonjolkan perhiasan, kecantikan termasuk bentuk tubuh dan sarana-sarana lain dalam berpenampilan agar menarik perhatian lawan jenis. Sarana lain yang biasa digunakan misalnya wangi-wangian, warna baju yang mencolok atau penampilan tertentu yang ‘nyentrik” atau perhiasan yang berbunyi jika dibawa jalan.

Orang tua (menopause) boleh tetap mengenakan jilbab dan boleh juga mengenakan baju apa saja selain jilbab selama tidak menonjolkan perhiasan, kecantikan, bentuk tubuh ketika di kehidupan umum seperti di jalan-jalan, pasar, mall, dll. Jika wanita tua saja dilarang untuk bertabarruj, maka mafhum muwafaqahnya yaitu wanita yang belum berhenti haid lebih dilarang untuk bertabarruj.

Ayat lain yang melarang tabarruj adalah firman Allah SWT :

“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (QS. an-Nur 24 : 31).

Allah dalam ayat ini melarang salah satu bentuk tabarruj, yaitu menggerakkan kaki sampai terdengar bunyi gelang kakinya sehingga orang lain menjadi tahu perhiasan wanita yang menggerakkan kaki tersebut, yang berarti wanita tersebut telah menonjolkan perhiasannya. Dalil ini juga menjelaskan akan larangan tabarruj, yaitu menonjolkan perhiasan.

Tabarruj berbeda dengan perhiasan atau berhias. Tidak ada makna syara’ tertentu terhadap kata tbarruj, sehingga penafsiran kata tabarruj diambil dari makna lughawi (bahasa). Tabarruj secara bahasa berarti menonjolkan perhiasan, kecantikan termasuk keindahan tubuh pada laki-laki non muhrim. Dalil lain yang menerangkan bahwa tabarruj adalah menonjolkan perhiasan, keindahan tubuh pada laki-laki asing adalah seperti yang diriwayatkan dari Abi Musa Asy Sya’rawi :

“Wanita yang memakai parfum, kemudian melewati suatu kaum (sekelompok orang supaya atau sampai mereka mencium aromanya maka berarti dia pezina.”

Diriwayatkan pula dengan sabda Rasulullah SAW :

“Dua golongan penghuni neraka, saya belum melihat sebelumnya   adalah : wanita yang berpakaian seperti telanjang dan wanita yang berjalan lenggak-lenggok di atas kepala mereka seperti punuk unta, maka mereka tidak akan masuk surga dan tidak mendapatkan baunya.”

Kata telanjang, berlenggak-lenggok dan seperti punuk unta menunjukkan arti agar tampak perhiasan dan kecantikannya. Atas dasar ini dapat dimengerti bahwa tabarruj tidak sama dengan sekedar perhiasan atau berhias, namun bemakna menonjolkan perhiasan.

Adapun mengenai perhiasan, maka hukum asalnya adalah mubah untuk dikenakan selama belum ada dalil yang mengharamkannya, hal ini sesuai dengan kaidah syara’, Hukum asal suatu benda ( asy ya’) adalah mubah.

Perhiasan adalah asy ya’ (benda). Perhiasan apapun bentuknya adalah mubah selama belum ada dalil yang mengharamkannya. Sebagaimana perhiadan memang diharamakan Allah antara lain : seperti yang terungkap dari riwayat Ibnu Umar: “ Sesungguhnya Nabi melaknat wanita yang menyambung rambutnya dengan rambut orang lain, wanita yang rambutnya minta disambungkan, wanta yang mentato, dan wanita yang minta ditato.”

Walaupun semula berhias dalam kondisi berkabung dibolehkan, akan tetapi bisa menjadi haram manakala berhiasnya menggunakan perhiasan yang haram dan apabila berhiasnya sampai menjadikannya termasuk tabarruj yaitu menonjolkan perhiasan dan kecantikan di hadapan laki-laki asing(non mahrom).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar